
Pada tahun 1896 di Semarang, Jawa Tengah, khususnya daerah Muntilan, termasuk di daerah Ambarawa dan sekitarnya, misi dipimpin oleh Romo Fransiscus Van Lith, SJ. Pendirian sekolah-sekolah Katolik juga merupakan usaha dari para misionaris
sebagai sarana dalam usaha mewartakan kabar gembira. Di Salatiga, didirikan
Vervolk School dan Standard School yang sekarang dikenal dengan nama Sekolah
Dasar (SD) Kanisius Cungkup serta SD Kanisius Gendongan.
Beberapa tahun kemudian, didirikan sekolah yang kini dikenal dengan nama SD
Marsudirini dan SD Santo Fransiscus Xaverius. Sebagai akibat dari pengajaran
agama dan teladan kehidupan dari para misionaris, lambat laun banyak di antara
para murid yang ingin menjadi Katolik dan dibaptis, sehingga jumlah umat
Katolik semakin bertambah. Peningkatan jumlah umat sangat nampak di daerah
Jlumpang dan sekitarnya. Seiring dengan pertambahan umat Katolik di Salatiga
ini, para misionaris sering berkunjung dan memberikan pelayanan rohani kepada
umat.
Pada tahun 1904, di Salatiga didirikan sebuah rumah ibadat. Orang-orang
yang mempergunakan gedung tersebut sebagian besar adalah orang Katolik dari
pihak militer Belanda, maka gedung ini sering disebut Gedung Gereja Militer. Pada tahun 1928, tepatnya tanggal 10 Februari 1928 Gereja Katolik Salatiga
mempunyai seorang imam sendiri. Adalah Pastor Augustus Nolthenius de Man, SJ
yang ditugaskan untuk bertugas di Salatiga. Hal ini sebagaimana tertulis dalam
Chronologisch overzicht van de werkzaamheden der jezuieten in de Missie van
Nederlandsch Oost Indie (A.I Aernsbergen, 1934) yang terdapat di perpustakaan
Leiden University, The Netherlands. Dalam buku tersebut
tertulis:
“Op 10 Febr. 1928 wordt Salatiga vaste standplaats van A.Nolthenius de
Man haar eerste pastoor, die er een pastorie bouwt en de bestaande kerk
vergroot.”
Terjemahan dari pernyataan tersebut adalah sebagai berikut:
“Pada hari 10 Februari 1928 Salatiga dijadikan tempat kerja permanen bagi
Pastor A. Nolthenius de Man, yang membangun rumah pasturan dan memperbesar gereja.”
Pada, tahun 1951, Romo Leopold Maria van Rijckevorsel SJ mendirikan bangunan gereja dan selesai pada tahun 1952, kemudian
diresmikan dan diberkati oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Albertus
Soegiyapranata SJ, Beliau memberi nama pelindung
gereja yaitu Sanctae Martires Japponentium – Para Suci Martir Jepang. Pemberian
nama tersebut bertujuan untuk menghormati 26 orang Katolik di Jepang yang pada Tahun 1597 rela dibunuh oleh golongan yang anti Agama Kristen Katolik di
Nagasaki. Gedung Gereja yang berukuran panjang 42 meter dan lebar 12 meter serta tinggi 7 meter dan
berdaya tampung sekitar 600 orang. Dindingnya tembok tetapi
langit-langitnya dari tabag, yaitu
anyaman kulit bambu. Di dalamnya terdapat altar yang dibuat menempel dari pada
tembok. Di atas salib dan tabernakel terdapat tulisan besar melengkung yang
berbunyi “Asma Dalem Kaluhurna”. Gedung gereja ini dibangun di sebelah kiri
gedung gereja lama, yang hanya berjarak kurang dari 3 meter.
Karya pastoral imam-imam Jesuit di Salatiga dilanjutkan
oleh imam-imam Konggregasi Keluarga Kudus (MSF / Missionarii a Sacra Familia). Karya imam-imam MSF dimulai tahun
1957 dengan imam pertama yang bertugas adalah Romo J. V. Beek MSF, dan pada saat yang
bersamaan selama kurun waktu 1957 - 1958 Beliau bertugas bersama dengan imam Jesuit terakhir yaitu Romo C. Verhoeven, SJ. Beberapa imam Praja juga pernah bertugas di Salatiga,
diantaranya Romo J. F. Dibyadarmadja Pr (1949-1951), Romo A. Soemoatmodjo Pr. (1960-1961), Romo Henricus Beiloos, Pr. dan Romo
Ignatius Handoyoseputro, Pr. (1962-1965) dan Romo A. Sandiwan Brata Pr. (1965-1969).
Antara Tahun 1953 sampai dengan tahun 1965,
pertambahan jemaat per tahun menunjukkan angka yang stabil. Hal ini terjadi
setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI. Banyak orang datang kepada Romo dan
meminta dirinya dibaptis. Maka untuk melayani banyaknya
permintaan tersebut, Romo A. Sandiwan Broto Pr., yang saat itu menjabat sebagai
pastor kepala Paroki Salatiga, mengadakan kursus kilat untuk mencetak guru
agama Katolik. Dengan adanya peningkatan jumlah jemaat, tugas-tugas ke-gereja-an
bukan hanya ditangani oleh pastor, tetapi juga dibantu oleh para awam.
Pada
tahun 1962, umat Katolik di Paroki Salatiga digembalakan oleh dua orang imam
dari Kongregasi Keluarga Kudus, yakni Romo Henricus Beiloos, MSF. dan Romo
Ignatius Handoyoseputro, MSF. Kedua pastor ini selaku gembala umat Paroki
Salatiga tinggal di Pastoran di Jalan
Tuntang, sekarang bernama Jalan Diponegoro.
Akhir tahun 1963, di Salatiga untuk pertama kalinya ada gerakan ekumene
dalam bentuk Perayaan Natal bersama pemuda-pemuda dari Gereja Kristen
se-Kotamadya Salatiga. Perayaan Natal tersebut dihadiri oleh pastor, para
pendeta dari semua gereja Salatiga, serta anggota Majelis-Majelis Gereja
se-Kotamadya Salatiga di Hotel Kaloka Salatiga. Pelaksanaan liturgi dipimpin
oleh Romo Ignatius Handayaseputra MSF dengan pengkotbah Pendeta Batubara dari
Gereja Pantekosta.
Pada tahun 1963 juga, seorang putera Salatiga ditahbiskan menjadi imam di
negeri Belanda, yaitu Romo Bonifasius Hendrowarsito, MSF., putera dari Bapak-Ibu I. S. Hendrowarsito, Turusan-Salatiga. Romo Bonifasius Hendrowarsito,
MSF. adalah imam kedua setelah Romo Harsasusana, Pr. Dua tahun kemudian
menyusul Romo Smaragdus Dirgonomastu Martawinata, MSF. putera dari Bapak-Ibu
Martawinata dari Kalisombo-Krajan.
Pada tahun 1964, diadakan Perayaan Paskah bersama gereja-gereja
se-Kotamadya Salatiga. Bentuk perayaan berupa pawai di jalan-jalan utama
Salatiga. Pawai lampion diadakan pada malam hari dan diikuti oleh jemaat dari
berbagai Gereja, pelajar sekolah Kristen dan sekolah Katolik,
organisasi-organisasi Kristen dan Katolik se-Kotamadya Salatiga.
Sedangkan, di daerah
Karanganyar, Tuntang, Kab. Semarang antara Tahun 1965 – 1972 didirikan bangunan
kapel (saat ini gereja wilayah Karanganyar, Tuntang) dimana sebulan sekali
diselenggarakan perayaan Ekaristi dilayani Romo
paroki dari Salatiga.
Pada tahun 1984, Romo Th. Sumartaji Martiputranto, MSF. mencanangkan bahwa
nama pelindung untuk Paroki Salatiga adalah “Santo Paulus Miki”, dimana
sebelumnya seluruh cap gereja dan kop-kop surat resmi bertuliskan
"Ss.Mm.Jap". Saat itu yang menjadi pastor kepala paroki adalah Romo
Aloysius Endrokarjono, MSF.
Pada September 1987, Romo FX.
Marto Wiryono, MSF. meletakkan batu
pertama untuk pembangunan gedung pertemuan di Desa Tlompakan, Kab. Semarang dan
diberkati pada tanggal 11 September 2003 oleh Romo FA.
Suryo Sunaryo, MSF. selaku Romo Paroki
saat itu.
Umat Katolik tumbuh dan berkembang dengan cepatnya, pelayanan rohani
kepada seluruh umat juga perlu ditingkatkan, namun sarana dan prasarana
ibadat dirasa kurang. Hal ini mendorong umat berupaya untuk menambah dan
mengembangkan sarana ibadat. Atas upaya berbagai pihak akhirnya tersedia tanah di wilayah Kelurahan
Tegalrejo, Kec. Argomulyo-Salatiga yang siap dibangun untuk sebuah gereja. Pada
tanggal 16 Oktober 1988, dilaksanakan peletakan batu pertama pembangun gedung gereja di Tegalrejo oleh Romo Fransiskus Xaverius Martowiryono, MSF.
Pada tahun 1990 pembangunan gedung gereja selesai dan pada tanggal 26 Nopember
1991 dilakukan pemberkatan dan peresmian oleh Romo Vikjen Keuskupan Agung
Semarang, Romo J. Hadiwikarta, Pr. dengan nama Gereja Kristus Raja
Semesta Alam.
Gereja Santo Paulus Miki Salatiga mengalami perluasan dan pembanguan
kembali, dimana peletakan batu pertama dilakukan pada hari raya Pentakosta 1998
oleh pastor kepala
paroki, Romo Andreas Sumartasetyaka, MSF. Gereja yang megah dan indah ini
selesai direnovasi dan pada tanggal 28 September 2000 diberkati oleh Uskup
Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo, Pr.
Pada tahun 2009 Dewan Karya Pastoral KAS merekomendasikan agar dilakukan
pemekaranan bagi Paroki St. Paulus Miki agar pelayanan kepada umat dapat menjadi
lebih efektif dan optimal. Di bawah pastor kepala paroki Romo Yeremias Balapito
Duan, MSF. dilakukan berbagai persiapan untuk pemekaran dan berdirinya paroki
baru di Gereja Kristus Raja Tegalrejo. Akhirnya pada tanggal 4 Juni 2011 Gereja
di Tegalrejo resmi sebagai Kuasi Paroki oleh Bapak Uskup
Agung Semarang, Mgr. Johanes Pujasumarta dengan nama pelindung Kristus Raja
Semesta Alam (GKRSA). Dan pada 26 November 2017,
tercatat Gereja Kristus Raja Semesta Alam dari Kuasi telah menjadi Paroki
mandiri yang memiliki teritori 6 wilayah dengan 29
lingkungan dan jumlah umat sekitar 4.000 orang.
Gereja Katolik St. Pius X Karanganyar Tuntang adalah sebuah gereja kecil
yang berdiri megah di ruas Jalan Raya Tuntang – Bringin, tepatnya di Km. 6 Desa
Karanganyar, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Gereja St. Pius X
Karanganyar Tuntang baru saja ditingkatkan statusnya menjadi Stasi pada tanggal
22 November 2020 dalam sebuah Ekaristi Kudus bertepatan dengan Hari Raya Tuhan
Kita Kristus Raja Semesta Alam. Dalam kesempatan ini sekaligus juga dilakukan Peresmian
Stasi St. Pius X Karanganyar Tuntang oleh Romo Vikaris Episkopal Keuskupan
Agung Semarang, Rm. FX Sugiyana, Pr.
Penetapan Gereja Wilayah St. Pius X Karanganyar Tuntang dibuat berdasarkan
Surat Keputusan Uskup Keuskupan Agung Semarang Nomor.1006/B/1/B-141/2020
tentang “SURAT KEPUTUSAN PENDIRIAN STASI” yang ditandatangani oleh Uskup
Keuskupan Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubyatmoko, Pr., pada tanggal 29
September 2020 dan berlaku terhitung mulai tanggal 21 November 2020. Dasar
Surat Keputusan Pendirian Stasi tersebut diterbitkan berdasarkan Usulan Ketua
Dewan Pastoral Paroki St. Paulus Miki Salatiga Nomor.01/DP-GPM-7/2019 tentang
“Permohonan Peningkatan Status Wilayah St. Pius X Karanganyar menjadi Stasi”
tertanggal 17 Juli 2019. Dalam kesempatan yang sama dikukuhkan pula Pengurus
Dewan Pastoral Stasi St. Pius X Karanganyar Tuntang masa pelayanan November
2020 s/d Desember 2022 melalui Surat Keputusan Pastor Paroki St. Paulus Miki
Salatiga Nomor.50/GPM/XI-2020.
Dengan demikian Paroki St.
Paulus Miki memiliki daerah pelayanan pastoral berjumlah 16 wilayah terdiri dari 62 Lingkungan dengan umat sejumlah sekitar 5.500
jiwa.